![]() |
Melalui tulisanya, saya merasa sosok ibu yang sudah meninggal dunia tetap berada disisi saya. (sumber: pexels) |
News laskar,
opini- Bagi sebagian orang, menulis menjadi salah
satu cara untuk mengungkapkan isi hatinya. Dengan cara tersebut, seseorang
dapat memberi pengalaman
hidup, berbagi wawasan, memiliki karya, dan intinya, bukan karena paksaan. karena setiap
penulis memiliki motivasi sendiri dalam menulis.
Bagi saya, tanpa
menulis, seseorang akan mati seutuhnya. Tetapi dengan menulis, orang itu akan
tetap hidup meski jasadnya sudah terkubur tanah.
Salah satu penulis ternama, Pramoedya Ananta Toer
juga mengatakan bahwa menulis adalah kerjaan untuk keabadian.
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia
tidak menulis, ia akan hilang di dalam Masyarakat dan dari sejarah. Menulis
adaah kerja untuk keabadian," tulisnya.
Dan saya sangat bersyukur, dilahirkan dari seorang Ibu yang
gemar dan hobi menulis. Meski tulisannya tidak terkenal dan tak pernah
terekspose. Namun setidaknya, saya tidak kesepian ketika Ibu meninggalkan saya
dan dunia untuk selamanya.
Dihujung akhir hidupnya, ketika berjuang melawan penyakit
kanker. Ibu juga tak lepas untuk menulis. Tulisan Puisi-puisi tersebut membuat saya merasa bahwa nasihat,
rasa, dan jiwanya tetap berada di
sisi saya.
Dalam penggalan akhir puisinya yang berjudul Tidak Ada Yang Tahu, saya mengerti bahwa sebenarnya ibu sangat menyayangi anak-anaknya. Saya yakin, bahwa Ibu sudah mengetahui
ujung dari segala perjuangannya dalam melawan penyakitnya. Namun, rasa berat
meninggalkan anak-anaknya yang telah ia urus sendiri sebagai single perents
membuatnya tetap berdoa agar dirinya kembali menjadi sehat.
Tidak ada yang tahu.
Dalam terpejamnya mata.
Aku tidak sanggup meninggalkan anak-anak ku, Tuhan.
Air matapun...
Ya Rabb...
Sehatkan aku lagi tanpa ada penyakit lain.
Tak hanya itu, Ibu
saya seakan-akan sudah tahu bahwa sehat yang akan dialaminya bukan didunia lagi.
Sehingga pesan-pesan kepada kami, anaknya. Serta kawan-kaannya juga tak luput
diselipkan pada puisinya.
Pada puisi yang
berjudul Segala Kemungkinan. Ibu berpesan, ketika kelak jantungnya tak
berdetak kembali, Ibu berharap agar tidak menangisinya, karena itu bukan hal
yang diinginkannya. Ia hanya ingin, agar kita tetap merindukannya untuk
ketenangannya di akhirat.
Nak, dan
kawanku...
Jika Jantungku
berhenti.
Jangan tangisi
kepergianku.
Semua itu
bukan inginku.
Tersenyumlah
untukku .
Rindukan aku
seumur hidup kalian.
Agar kidung
do'a selamatkan akhiratku.
Dan kini, ibu
saya sudah tiada. Saya yakin, biar bagaimanapun sosok Ibu. Rasa rindu anak pada
ibunya tak bisa disembunyikan. Dan hanya melalui doa yang dialiri oleh air mata
saja yang kini dapat saya lakukan.
Dari kisah
sederhana itu, dan beberapa tulisan yang saya temui pada selembar kertas yang
ditulis melalui pensil yang sudah tak tebal lagi. Saya belajar, bahwa menulis
membuat sesorang akan tetap hidup. Begitulah yang selama ini ibu katakan dalam
nasihat. Ia selalu menyampaikan, tulislah dengan rasa. Karena hanya dengan tulisan,
coretan, kau akan tenang dalam kehidupan.
Semoga dengan
tulisan sederhana ini, kita dapat kembali menuliskan rasa, entah bahagia,
sedih, atau marah pada tulisan. Sebab, sampai detik ini, nyawa tetap menjadi
rahasia Tuhan. Dan orang yang kita sayangi, cintai, harus tetap merasa bersama
kita. (Asep)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar