![]() |
Entah apa yang terpikirkan sampai tega melakukan hal tersebut. Padahal jelas, yang dilakukan oleh oknum-onum tersebut juga bagian dari pelecehan (Foto by Twitter) |
News Laskar, Opini-
Mengamati fenomena saat
ini, warganet dihebohkan oleh video penghakiman yang diduga pelaku pelecehan
seksual yang tersebar di media sosial. Diketahui, video tersebut berlokasi di
kampus Gunadarma, Depok.
Dalam banyaknya
video yang beredar, nampak jelas aksi bullying dan penganiayaan yang dilakukan
oleh oknum mahasiswa Gundar sendiri. Bahkan, terdapat juga unggahan foto yang
diduga pelaku pelecehan seksual ditelanjangi oleh massa. Jelas, ini akan
mencoreng nama baik mahasiswa dan kampus Gundar itu sendiri.
Pelecehan seksual
memang tidak bisa dibenarkan. Namun, menghakimi sendiri juga pun sama tidak
bisa dibenarkan. Maka seharusnya, para penegak hukum dapat berlaku yang
seadil-adilnya.
Saya terfokus
pada salah satu unggahan video yang memperlihatkan seorang mahasiswi mencekokan
sebuah air yang diduga ialah air seni. Biar bagaimanapun, air seni dipercayai
sesuatu yang menjijikan bahkan ummat muslim meyakini bahwa air tersebut
mengandung najis. Maka sungguh tak pantas suatu yang najis dan menjijikan itu
diminum oleh manusia. Nah, seorang mahasiswi tersebut memaksa oknum yang diduga
melakukan pelecehan seksual itu untuk diminum, itu jelas tak beradab.
Tak hanya itu,
ada juga unggahan foto oknum yang diduga melakukan pelecehan seksual tersebut
ditelanjangi didepan massa. Entah apa yang terpikirkan sampai tega melakukan
hal tersebut. Padahal jelas, yang dilakukan oleh oknum-onum tersebut juga
bagian dari pelecehan. Lantas, apa sebenarnya? Pelecehan vs Pelecehan?
Terlihat juga,
oknum terseut diikat pada pohon, lalu menghakiminya dengan disiram air seember.
Ternyata tak hanya disiram, oknum yang menghakimi tersebut juga memasukan ember
tersebut pada kepala yang diduga pelaku itu.
Hal tersebut
mengingatkan saya pada suatu kisah yang diceritakan dalam Buku Tuhan Izinkan
Aku Menjadi Pelacur, yang mengutip dari Anand Krishna, Surat
Al-fatihah bagi Orang Modern, 1999: 64-65. Didalamnya mengisahkan seorang
perempuan yang dihukum rajam atau hukuman mati akibat berzina. Padahal ia
seorang pelacur.
“Suatu hari para pemuka
agama, para tokoh masyarakat menjatuhkan hukuman atas seorang wanita yang dianggap
berzina, walaupun wanita itu sebetulnya seorang pelacur. Hukuman yang
dijatuhkan kepadanya tidak main-main: rajam atau hukuman mati, dengan cara
dilempari batu sampai ia menghembuskan napasnya yang terakhir,” tulisnya.
Seluruh
masyarakat termasuk anak-anak yang tidak tahu apa-apa, juga berlomba-lomba dalam
menghakimi perempuan sudah dijatuhkan hukuman mati.
“Tidak hanya pra
pemuka agama dan tokoh masyarakat, tetapi anak-anak kecil, mereka yang tidak
tahu “dosa” itu apa, “pelacuran” dan “zina” itu apa, turut ambil bagian dalam
aksi pembunuhan seorang wanita yang dianggap “tuna susila” oleh masyarakat yang
menganggap dirinya “cukup susila”,” jelasnya.
Dengan keadaan tubuh
wanita yang berlumuran darah dan menjerit kesakitan. Tiba-tiba datang seorang
pria yang berbadan kurus, tinggi dan berjubah putih, untuk segera mendekati dan
memeluknnya. Dengan mata merah, bibir bergemetar, ia marah dengan suara yang berapi-api
bagai suara petir di tengah hari.
“Kalian sedang
melempari batu, kalian yang ingin
membunuh wanita ini, kenapa kalian ingin membunuh dia? Karena ia seorang
pelacur? Karena ia melacurkan badannya? Apakah kalian lebih baik dari dia? Kalian
telah melacurkan jiwa kalian, roh kalian. Kalian semua munafik. Adakah satupun
di antara kalian yang pernah melacurkan jiwanya, rohnya? Kalau ada, biarkan dia
yang melemparkan batu pertama. Kalian semua kotor, tidak bersih. Kalian tidak
berhak menghukum wanita ini.”
“kata orang, ia
yang melindungi wanita malang itu adalah Nabi Isa,” tutupnya.
Meski dari kisah
tersebut yang diceritakan ialah seorang wanita yang dianggap berzina, namun
disisi lain ada persamaan pada video yang viral di media sosial tersebut. Yakni,
penghakiman terhadap kesalahan seseorang.
Perkataan seorang
pria yang dianggap Nabi Isa pada kisah tersebut sangat perlu untuk direfleksikan
kepada kita semua, agar kita selaku manusia tidak mudah menghakimi kesalahan
seseorang.
kontributor: Rachmad Setiadi
editor: arsm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar