NEWSLASKAR, BEKASI- Dalam sebuah kesempatan pendampingan
sekolah, saya berdialog dengan seorang guru sebuah SD negeri dari sebuah
kampung di wilayah Kabupaten Bandung Barat. "Siswa kami ada empat ratus
anak, Pak sementara ruang kelas hanya ada enam. Dan, satu guru harus memegang
dua kelas, pagi dan siang."
Cerita tersebut adalah satu dari gambaran kesenjangan
terkait sarana prasarana pendidikan serta masih kurangnya jumlah guru di
sekolah dasar. Bisa dibayangkan, begitu tidak efektifnya pembelajaran yang
terjadi di sana. Coba kita pikirkan, dalam satu kelas jumlah siswa bisa lebih
dari lima puluh orang. Tentu, belajarnya menjadi sangat tidak nyaman. Dari
mulai tempat duduk yang berdempetan, sampai pada sulitnya mengelola
pembelajaran dengan jumlah siswa besar dalam satu kelas.
Sementara gurunya hanya satu. Dan itu pun baru sesi pagi,
karena guru yang sama harus mengajar kelas lain dengan jumlah siswa yang tak
jauh beda di siang harinya. Anda jangan terlalu jauh bicara peningkatan mutu
dulu, sebab guru tetap sehat dan bisa tiap hari datang mengajar saja sudah bagus.
Pada kesempatan lain, seorang kepala sekolah dasar negeri
dari wilayah pegunungan dari Kabupaten yang sama, sebut saja namanya Bu Rimas,
bercerita kepada saya tentang pembelajaran saat pandemi dua tahun lalu di
sekolahnya.
"Bagaimana kami mau melakukan pembelajaran daring,
Pak wong siswa di sini handphone aja nggak megang. Kalau pun ada HP, ya cuman
satu-satunya di keluarga. Itu pun dibawa orangtuanya ke ladang atau jualan ke
pasar. Dan, pulang jualan dari pasar bisa tiga hari atau seminggu
kemudian."
Bu Rimas sendiri adalah seorang kepala SD negeri yang
selalu bersemangat untuk memajukan sekolahnya. Seperti pada kesempatan itu, dia
bercerita tentang suasana pembelajaran di sekolah. Bagaimana pandemi membuat
anak-anak kehilangan semangat belajar, karena hampir dua tahun tidak pernah
belajar. Karena kebijakannya memang tidak boleh ngumpul-ngumpul saat itu.
Sekarang bagaimana mau belajar; bagi anak-anak kampung,
yang namanya belajar ya ngumpul di suatu tempat, dan di sana ada guru dan siswa
yang saling berinteraksi. Sementara sekarang disuruh daring. Jangankan siswa,
bisa jadi sebagian orangtuanya juga tidak paham; yang ada di pikiran mereka,
bagaimana besok bisa berangkat ke ladang dan bagaimana bisa memikul hasil panen
mereka ke pasar untuk dijual.
Lantas, bagaimana dengan pendidikan anak-anaknya? Itu
menjadi urusan sekolah.
Sebenarnya saya hanya ingin mengatakan bahwa kondisi
tersebut bisa jadi cerminan masyarakat kita secara umum. Sementara kita tahu,
Indonesia bukan hanya Jakarta atau Surabaya. Indonesia ini sangat luas,
membentang dari Sabang sampai Merauke. Bahkan mungkin saja di sebagian besar
wilayah, terutama luar Jawa, banyak yang masih tertinggal. Banyak perkampungan
ataupun wilayah pegunungan yang masih sangat perlu perhatian.
Beberapa waktu lalu, Mendikbud Nadiem Makarim mengatakan
bahwa Indonesia memasuki masa krisis pembelajaran. Menurutnya, ada kesenjangan
besar antarwilayah dan antarkelompok sosial-ekonomi dalam hal kualitas belajar.
Dan, setelah pandemi, krisis belajar ini menjadi makin parah. Menurut dia, pada
saat pindah ke learning online, setelah diasesmen dan kalkulasi terkait dampak
learning loss-nya, terindikasi berkurangnya kemajuan belajar tingkat sekolah
dasar, baik dari sisi literasi maupun numerasinya.
Pandemi sendiri adalah salah satu pemicu kedaruratan
situasi pembelajaran saja. Karena sebenarnya krisis pembelajaran di Indonesia
sudah berlangsung sangat lama. Inilah salah satu alasan mengapa perlu dilakukan
perombakan mendasar di bidang pendidikan untuk meningkatkan mutu, yaitu dengan
munculnya kurikulum merdeka.
Kurikulum merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran
intrakurikuler yang beragam di mana konten akan lebih optimal agar peserta
didik cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi.
Pendekatan pembelajaran dalam kurikulum merdeka
sebenarnya sangat bagus. Karena guru sebagai fasilitator harus memperhatikan
tingkat kemampuan siswa dan karakteristik siswanya yang berbeda-beda.
Pertanyaannya, bisakah pembelajaran berlangsung optimal, beragam, dan ada
pendalaman konsep jika jumlah ruang kelas kurang, jumlah siswa banyak, dan guru
memegang banyak kelas untuk sebuah sekolah dasar?
Situasi demikian tentu akan sangat menyulitkan guru dalam
mengelola siswa. Bagaimana mengelompokkan siswa sesuai tingkat kemampuan dan
karakteristik, jika jumlahnya banyak, dipegang seorang guru sendirian, dan lagi
harus berbagi dengan kelas lain juga? Dan, tentu dampaknya akan berpengaruh
pada mutu pembelajaran dan pendidikan baik di tingkat satuan pendidikan, tingkat
daerah, tingkat provinsi, maupun secara nasional.
BACA JUGA : Apakah Sistem Informasi Pendidikan Di Kota Bekasi Sudah Terbuka ??
Harus kita akui bahwa sebenarnya kesenjangan antarwilayah
dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang sudah berlangsung sangat lama jauh
lebih dahsyat dampaknya bagi peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan.
Realitasnya anak-anak kita di berbagai wilayah dan perkampungan memang kurang
mendapat kesempatan pendidikan yang memadai selama ini. Setidaknya dari cerita
di atas menggambarkan realitas kondisi masyarakat dan dunia pendidikan kita di
wilayah perkampungan.
Ingat, wilayah pedesaan kita itu sangat besar. Dan, di
sana kita bisa menemukan bahwa memang ada kesenjangan yang sangat lebar terkait
sosial-ekonomi dan infrastruktur pendidikan masyarakat antara pedesaan dengan
perkotaan.
Sarana prasarana pendidikan juga masih sangat minim,
apalagi kalau bertanya jaringan internet. Kadang guru-guru di sana harus
numpang ke gedung balai desa ataupun kantor kecamatan kalau ada acara daring
dengan kami. Padahal, kita pasti paham semua bahwa pendidikan adalah hak setiap
warga tanpa terkecuali. Dan, anak-anak di sana juga punya hak penuh untuk
mengenyam pendidikan yang baik untuk masa depannya.
Di samping itu, saya juga mengkhawatirkan anggaran untuk
peningkatan mutu pendidikan kita. Masih cukup kuatkah anggaran yang ada untuk
intervensi implementasi kurikulum merdeka? Semoga saja, karena pendidikan ini
butuh anggaran yang sangat besar. Jangan sampai makin dekatnya Pemilu 2024 akan
berpengaruh dengan anggaran pendidikan.
Dilansir dari Detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar