Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Ternyata Kebohongan Memiliki Hikmah, Berikut Kisah Abu Nawas:

Senin, Desember 19, 2022 | Desember 19, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-12-19T09:02:48Z

 

Namun berbeda kalau kebohongan itu dilakukan oleh Abu Nawas. Kisahnya sangat penuh hikmah, dan menggelitik juga. (ilustrasi peradaban timur by pexels)

NEWS LASKAR,OPINI- Tingkah laku Abu Nawas akan selalu membuat kita terbengong heran. Banyak hikmah yang bisa dipetik dari kisah-kisah yang ia goreskan pada lembar sejarah.

 

Bagi saya, setiap dari tingkah laku Sosok Penyair itu tak akan terlepas dari Hikmah. Suatu hal yang dipandang buruk bagi kalangan awam kalau dilakukan olehnya akan timbul hikmahnya, termasuk kebohongan. Namun berbeda kalau kebohongan itu dilakukan oleh Abu Nawas. Kisahnya sangat penuh hikmah, dan menggelitik juga. Berikut kisah Kebohongan Abu Nawas yang mengandung hkmah sangat mendalam:

 

Alkisah, Abu Nawas sedang berjalan di tengah pasar. Di depan kerumunan orang-orang ia sengaja berhenti. Sejurus kemudian ia melepas topi dan melihat ke dalam topinya dengan ekspresi penuh bahagia. Orang-orang pun heran, lalu bertanya.

Orang: “Hai Abu Nawas, apa yg kamu lihat ke dalam topimu itu hingga membuatmu tersenyum begitu bahagia?”

Abunawas: “Aku sedang melihat Surga yang dihiasi barisan bidadari-bidadari cantik nan menawan (dengan ekspresi meyakinkan).

Seseorang: "Coba aku lihat!"

Abu Nawas:"Tapi saya tidak yakin kamu bisa melihat seperti apa yang aku lihat.”

Orang-orang:“Mengapa?"

_serempak karena sama-sama semakin penasaran).

Abu Nawas :“Karena hanya orang beriman dan shaleh saja yang bisa melihat Surga dan bidadari di topi ini."

Seseorang:"Coba aku lihat!"

Abu Nawas :“Silakan!”

 

Orang itu pun melihat ke dalam topi, lalu sejenak menatap ke arah Abu Nawas, kemudian menengok ke orang-orang di sekelilingnya dan berkata:

"Benar, aku melihat surga dan bidadari. Luar biasa!”(dengan penuh kagum).

 

Orang-orang pun heboh ingin menyaksikan Surga dan bidadari dalam topi Abu Nawas. Namun Abu Nawas mewanti-wanti, bahwa hanya orang-orang beriman dan shaleh saja yang bisa melihatnya. Dari sekian banyak yang melihat, banyak yang mengaku melihat Surga dan bidadari. Namun banyak juga yang tidak bisa melihat sama sekali. Mereka yang tidak bisa melihat berkesimpulan *"Abu Nawas telah berbohong".

 

BACA JUGA: SELAMATKAN BANGSA DENGAN BERANTAS MAFIA


Mereka pun melapor kepada Paduka Raja dengan tuduhan Abu Nawas telah menebar isu kebohongan di tengah masyarakat.Sampai akhirnya Abu Nawas dipanggil menghadap Raja untuk diadili di Sidang Raja

 

RAJA: "Benarkah di dalam topimu bisa terlihat surga beserta  bidadarinya, wahai Abu Nawas?"

Abu Nawas: "Benar, Paduka Raja, tetapi hanya orang beriman dan shaleh saja yang bisa melihatnya. Sementara yang tidak bisa, berarti dia belum beriman dan tidak shaleh. Jika Paduka Raja mau menyaksikannya sendiri, silakan..

RAJA: "Baiklah, kalau begitu saya mau menyaksikannya sendiri.”

 

Sudah pasti Sang Raja tidak akan pernah bisa melihat surga apalagi bidadari di dalam topi Abu Nawas. Lalu Raja berpikir, jika ia katakan tidak melihat surga dan bidadari, berarti ia termasuk golongan tidak beriman, maka itu akan berakibat fatal dan merusak reputasinya sebagai Raja.

 

RAJA:(setengah berteriak dan pura-pura  kagum)“Engkau benar, wahai Abu Nawas. aku menyaksikan sendiri Surga dan Bidadari di dalam topi ini!!!"

 

Maka, rakyat yang melapor demi menyaksikan reaksi Sang Raja jadi terdiam seribu bahasa. Tak ada yang berani membantah. Mereka takut berbeda pandangan dengan Sang Raja, khawatir dicap makar, belum beriman & tidak shaleh.

 

Dari kisah yang di ceritakan kembali oleh KH.Tubagussalim ini memetik banyak hikmah. Ketakutan untuk berbicara jujur menjadi faktor gengsi, gengsi bila dianggap belum beriman dan tidak shaleh. Padahal, label itu hanyalah rekayasa yang dipenuhi dengan kepura-puraan. Kepercayaan diri sebagai pribadi mandiri untuk berpegang teguh pada "kebenaran berdasarkan prinsip kejujuran" telah dirontokkan oleh kekhawatiran status yang sesungguhnya sangat subyektif dan semu. Ketika keberanian telah hilang, maka kepalsuan akan menjelma sebagai suatu kebenaran.

 

Dan legitimasi kebohongan yang di lakukan oleh Abu Nawas sudah seringkali nampak di lingkungan kita. Bahkan mungkin bisa saja diri kita sendiri. Akhirnya, kecerdasan tanpa kejujuran dan keberanian jadi takluk di bawah kecerdikan yang dibawakan dengan penuh percaya diri meski itu adalah tipu daya yang nyata. (arsm)

Tidak ada komentar:

Iklan