Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Demokrasi Indonesia Kian Hari

Sabtu, Februari 11, 2023 | Februari 11, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-02-11T06:29:43Z

Runtuhnya Demokrasi Soeharto, seharusnya dapat menciptakan Demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia.


News Laskar, opini- Dalam hitungan bulan kedepan NKRI memasuki usia 25th reformasi, seperempat abad bangsa kita sudah keluar dari politik tertutup era Soeharto dan kini, kita telah bersama-sama menikmati sebuah sistem pemerintahan yang telah lama kita nanti yaitu; demokrasi. Apa itu demokrasi?


Demokrasi secara umum dikenal sebagai sebuah sistem pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat, dimana setiap orang dapat mengambil bagian perihal keputusan yang akan mempengaruhi kehidupannya dalam bernegara.


Menurut Aristoteles;"Demokrasi adalah suatu kebebasan, prinsip demokrasi adalah kebebasan. Hal itu karena hanya melalui kebebasanlah, setiap warga negara dapat saling berbagi sebuah kekuasaan di dalam negaranya sendiri. 


Sudah banyak coretan prestasi politik kelembagaan, kendatipun banyak juga problem politik yang terus kita hadapi.


Alih-alih politik identitas yang menjadi potensi pembelahan bangsa dalam Pilpres 2024. Fobia terhadap identitas juga berpotensi menjadi masalah kebangsaan kita.


Para sarjana politik mengatakan di dalam demokrasi, ada dua arah yang bermuara pada ketentuan yang bersebrangan.


Jika demokrasi disusun dengan batu bata politik warganya yang kukuh dan direkatkan dengan etika politik yang penuh adab, maka demokrasi akan menghasilkan tatanan sosial yang menghantarkan kepada kebahagiaan dan kesejahteraan warganya.


Hal sebaliknya bisa terjadi bila demokrasi hanya dijadikan instrument untuk mempertahankan kejayaan dan kemakmuran para elit dengan akumulasi kekuasaan yang tanpa didasari oleh etika dan adab, mempertajam perbedaan, suku, ras, dan agama. Maka demokrasi hanya akan menghasilkan ratapan tangis dan kebencian warganya.


"Pada saat bangsa ini memerlukan kebersamaan kewarganegaraan, malah hal yang terjadi akhir-akhir ini adalah pertandingan politik kian memanas, sehingga membuat para elit lupa bahwa kita sebagai rakyat Indonesia perlu harmoni di setiap kontestasi," ujar mahasiswa jingga.


Alih-alih politik identitas yang menjadi potensi pembelahan bangsa dalam Pilpres 2024. Fobia terhadap identitas juga berpotensi menjadi masalah kebangsaan kita.


Apabila kita membuka lembaran sejarah politik dunia, kita mengingat bahwa bangkitnya fasisme politik di Jerman semenjak 1920-an, selain dipicu krisis ekonomi akibat kekalahan dalam Perang Dunia Pertama, didorong emosi politik fobia terhadap identitas Yahudi yang diembuskan Nazi dipimpin oleh Adolf Hitler.


Saat ini kita telah memasuki era dimana hampir separuh dari tubuh kita adalah robotics. Mengapa demikian?


Tentu semua itu tidak lepas daripada berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga hampir dari semua kita untuk saat ini mengakses apapun itu tidak pernah lepas daripada sistem digitalisasi, pun halnya dengan politik itu sendiri.


Politik digital.. potensi peruncingan perbedaan yang menghantam kesatuan bangsa akan semakin besar terjadi saat makin mendekati Pilpres 2024.


Karakter kontestasi politik di dunia digital, semakin memperkuat dinamika politik dalam sentrum emosi.


Rekam jejak dari kandidat politik pun tidak lagi menjadi pertimbangan utama dalam mengelola politik masa depan, tertutupi oleh rasa kebencian.


Ketidakmampuan merefleksikan kebebasan politik sebagai kemerdekaan dengan tanggung jawab politik etis menyebabkan Jerman menuju fasisme yang berdiri dari kehancuran puing-puing demokrasi. Bumi pertiwi kita tidak menutup kemungkinan akan mengalami hal tersebut, namun upaya untuk menghindar dari akibat politik yang ekstrem seperti itu adalah membangun demokrasi yang berkeadaban dengan peningkatan kualitas tinggi, bisa kita lakukan bersama saat ini.

"Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan," quotes Gusdur yang familiar.


Kontributor: Lukman l Atasoge

Editor: arsm

Tidak ada komentar:

Iklan