![]() |
Ingatkah kita dengan mereka yang bertahan hidup hanya untuk demokrasi di negara kita? |
News Laskar, opini- Di zaman digital yang seperti saat ini sama-sama kita nikmati, dengan adanya kemudahan untuk mengakses dan mengexplore berbagai critycal diskors ataupun berbagai informasi lainnya,"apakah sistem demokrasi kita sudah terimplementasikan sebagaimana seharusnya?
Dengan adanya kemudahan teknologi seharusnya, setiap warga negara berhak dan bebas untuk mengeluarkan pendapat, baik melalui opini, kritik, meme, dll. Tetapi mengapa di era adanya kemudahan teknologi justru banyak sekali pembungkaman yang dilakukan oleh pemerintah? Apakah ini yang disebut dengan kemajuan demokrasi? Atau justru kemunduran demokrasi?
Di Yunani, koalisi populisme kanan dan kiri berhasil memenangkan pemilihan umum pada tahun 2015. Di Prancis, partai populis Front Nasional yang didirikan oleh Jean-Marie Le Pen sudah lama menjadi bagian dari sistem politik nasional. Sederetan nama seperti Viktor Orban, Jaroslaw Kaczynski dan Robert Fico adalah para pemimpin populis yang telah meraih puncak kekuasaan politik di Eropa.
Kemenangan para politisi populis mencapai puncaknya dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat.
Sejumlah kalangan bahkan berpandangan, sebutan populis untuk seorang Donald Trump dipandang terlalu sopan. Lebih pantas ia mendapat julukan fasis.
sebab dalam 20 tahun terakhir tak satupun politisi Amerika Serikat selain Donald Trump yang berani secara terbuka menghina kelompok minoritas dan perempuan.
Sedangkan di Indonesia sendiri terdapat hal unik, dimana para aktivis yang memperjuangkan suara rakyat justru dihantui dengan regulasi-regulasi yang dianggap pro terhadap pemerintah, bukannya berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Bahkan masih banyak kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia(HAM), yang justru dibungkam melalui segala pembenaran yang dikeluarkan pemerintah. Dan lebih naasnya, media-media jarang sekali hadir dengan kasus demikian. Serta bukan lagi menjadi hal yang tabu, ketika para wartawan lebih senang menerima uang untuk menaikan eksistensi para calon penista rakyat dan partainya.
Dipandang dengan segala kasus HAM yang tak terselasaikan selama bertahun-tahun, maka sama saja menentang kemanusiaan mereka. Begitupun yang dikatakan Nelson Mandela.
"Menolak hak asasi manusia berarti menantang kemanusiaan mereka,"quotes Nelson Mandela.
Lupakah kita semua, dengan mereka para pejuang yang ingin menegakan nilai-nilai demokrasi di negeri kita ini. seperti; Munir, Marsinah, Whiji Tukul, Salim Kancil, dan masih banyak lainya yang pro terhadap demokrasi justru dibunuh, dan tak terselasaikan sampai detik ini. Mereka semua hanya menjadi sosok sejarah dihati kita yang masih berada pada demokrasi saat ini.
Apakah ini yang disebut kemajuan demokrasi, dengan adanya berbagai bentuk pembungkaman?
Guna merefleksikan demokrasi di benak kita, Claude Lefort mengungkapkan;
"Legitimasi demokrasi berpijak pada diskursus tentang apa yang legitim dan apa yang tidak legitim. Sebuah perdebatan yang tidak dibangun atas sebuah jaminan akan kata akhir yang dapat diprediksi. Artinya, sebagai seseorang yang berwawasan kosmopolitan, anda tak pernah boleh beranggapan bahwa pihak oposisi tidak memiliki argumentasi yang rasional atau dalam perdebatan seputar keadilan dan fairness seolah-olah jawabannya dapat jatuh dari langit," jelasnya.
(lookmans/arsm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar