![]() |
Jika hanya gaji dan gengsi, lebih baik pendidikan itu tak ada |
Newslaskar, Opini- Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dari ayat diatas pendidikan tidak sesederhana itu. Banyak sekali harapan bangsa dari kaum-kaum terpelajar, dengan pendidikan yang berkualitas artinya juga akan meningkatkan kualitas sdm dan menjadi tolak ukur kemajuan bangsa.
Sebagian masyarakat indonesia juga menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi, adapun juga sampai ke SMA, SMP, dan bahkan SD. Entah apa yang dipikirkan mengenai pentingnya pendidikan.
Orang tua selalu selalu berusaha memberikan anaknya pendidikan yang baik. Memasukan anaknya ke sekolah atau universitas favorit, beranggapan bahwa itu yang terbaik. Tetapi alasan kedua untuk menjaga gengsi terhadap tetangga, hingga sogok menyogok atau memakai peran orang dalam. Bahkan Ada juga suap untuk mendapatkan nilai terbaik. Saya yakin orang-orang yang terlibat memiliki gelar, tetapi uang lebih dari segalanya. Sepertinya pendidikan itu tidak ada gunanya.
Sekian banyak orang bertanya cita-cita selama di bangku sekolah. Namun, tidak ada yang pernah menanyakan "apakah kamu bisa menjadi bermanfaat bagi orang banyak?", "apa kamu bisa memanfaatkan ilmumu dengan baik?".
Saat tidak adanya ketulusan yang terpikirkan hanya gaji tinggi, gengsi saling bersaing. Pendidikan yang mempunyai tujuan untuk berakhlak mulia juga telah menghilang.
Sifat kompetisi ini juga mulai muncul ketika berada di lingkungan sekolah. Pelajar dihadapkan banyak berbagai materi dan harus memenuhi target yang telah ditentukan disekolah. Berlomba-lomba menjadi yang terbaik, karena yang terbaik menjadi yang terdepan, katanya. hal itu wajar karena kompetisi tidak bisa lepas dari hidup kalau untuk ajang gengsi.
Bukan hanya pelajar, walimurid pun juga berlomba-lomba membanggakan muridnya sendiri. Entah apa tujuan mereka untuk berkompetisi, jika bermanfaat ya silahkan.
Rasanya semakin menjadi yang terdepan, kesuksesan akan mudah di dapat. Padahal belum tentu yang pandai memiliki pandangan masa depan. Semakin hari semakin terdengar suara "kamu harus pintar supaya mudah masuk ke ptn favorit, setelah itu mudah untuk mendapatkan pekerjaan"
Hal itu sedikit benar, ketika mendapat sekolah dan universitas terbaik akan menentukan nasib ke depan, iya nasib pekerjaan. Saat di dunia pekerjaan juga pasti ada beberapa yang menyuap, salah satunya ASN. Setelah itu membanggakan putranya yang menjadi ASN. Setidaknya saya paham akan kejadian seperti itu, bahwa menjadi aparatur negara itu lebih penting dibandingkan tujuan menempuh pendidikan.
Lantas apakah tujuan pendidikan menurut UU diatas sudah terwujud? jika tujuan pendidikan hanya untuk bekerja dan mendapatkan gaji, mengapa banyak sarjana yang menganggur?.
Mahbub Djunaidi ketua PB PMII pertama pernah berkata "Ilmu bukan untuk ilmu, tetapi ilmu untuk amal".
Ia mengatakan seperti itu karena ilmu itu bukan untuk mencari keuntungan diri sendiri, tetapi bagaimana caranya ilmu kita itu bermanfaat bagi banyak orang. (Med)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar